PANDANGAN ISLAM TENTANG JIWA

 Sesungguhnya Islam memiliki sebuah konsep yang utuh mengenai jiwa. Setiap para ulama memiliki sebuah pandangan yang mengakar kuat pada tradisi Islam. Meskipun kita melihat kecenderungan para filosof muslim mengutip banyak pemahaman jiwa dari para filosof Yunani seperti Aristoteles, Plato, Galien, Platonis dan lainnya. Namun sejatinya konsep yang  dikembangkan berdasarkan cara pandang seorang muslim sehingga apa yang dikemukakan tidak keluar dari worlview Islam. Pemahaman yang beragam dalam memahami eksistensi jiwa ini juga dalam rangka memahami kebenaran Mutlak yaitu Sang Pencipta. Maka ketika seseorang memahami dirinya –yaitu jiwa beserta seluruh yang ada pada diri manusia- maka ia  akan mengenal TuhanNya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya (jiwa), maka ia akan mengenal Tuhannya.

Baik para sufi dan filosof muslim –yang memiliki perbedaan dalam mengkaji persoalan jiwa- sebenarnya memiliki titik temu yaitu bahwa jiwa merupakan unsur yang tidak tampak yang menggerakkan jasad manusia, ia berasal dari Allah yang semestinya harus selalu dijaga agar senantiasa berada dalam kondisi yang bersih. Ketika jiwa yang ada pada diri manusia tidak dibimbing dengan cahaya kebaikan -maka seperti yang digambarkan Ibn Sina- ia ‘menjerit’ dan mengharap kembali kepada Tuhannya. 

SUDUT PANDANG SUFI TENTANG JIWA

         Tidak hanya filosof, kalangan sufi juga salah satu yang menaruh perhatian penting para persoalan jiwa. Mereka berbicara banyak hal tentang jiwa. Bahkan di satu sisi mereka mampu melampaui apa yang disimpulkan para filosof mengenai jiwa. Perhatian kaum sufi terhadap jiwa lebih banyak melihat dari tuntunan dan dalil agama sehingga penjelasannya lebih mengarah pada amalan jiwa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kaum sufi memiliki perspektif yang berbeda dalam mengkaji jiwa. Jika filosof banyak berbicara tentang eksistensi jiwa yang menjadi unsur dari diri manusia, maka kaum sufi lebih banyak berbicara tabiat, karakter dan aktifitas jiwa manusia yang lebih bersifat praktis.

MENURUT FILOSOF MUSLIM TENTANG JIWA

Seperti yang dikemukakan  bahwa para filosof muslim memasukkan persoalan jiwa adalah persoalan yang sangat penting. Hampir semua filosof muslim tidak mungkin mengabaikan persoalan jiwa. Karena jiwa merupakan bagian dari pembahasan metafisika. Dalam hal ini Ibnu Bajjah mengatakan bahwa “ilmu tentang jiwa harus lebih utama dipelajari dan ia merupakan ilmu yang paling mulia. Ia mendahului ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu luhur lainnya, dan setiap ilmu terpaksa untuk mempelajari psikologi. Sebab, kita tidak mungkin mengetahui berbagai prinsip ilmu jika belum mengetahui jiwa dan hakikatnya.”[25] Pendapat ini sama halnya dengan al-Ghazali yang juga menganggap mengetahui persoalan jiwa lebih utama.[26] Beberapa pandangan filosof muslim mengenai jiwa justru memperkaya konsep jiwa dalam Islam.

DALAM AL - QURAN DISEBUTKAN TENTANG SIFAT JIWA MANUSIA

  1) al-Muthma’innah (jiwa yang tenang)

Maka apabila jiwa merasa tentram kepada Allah Ta’ala, tenang dengan mengingat-Nya, dan bertaubat kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan menghibur diri dengan dekat kepada-Nya, maka itulah nafsu muthma’innah (jiwa yang tenang). Itulah jiwa yang dikatakan kepadanya tatkala wafat (meninggal dunia),

2) al-Ammaarah bi as-suu’ (jiwa yang suka menyuruh kepada perkara buruk)

Adapun kebalikan daripada itu maka ia adalah nafsu ammarah bis suu’ (jiwa yang suka menyuruh kepada perkara buruk). Ia memerintah pemiliknya dengan apa-apa yang sesuai dengan hawa nafsunya berupa syahwat-syahwat yang menyesatkan (maksiat) dan mengikuti kebathilan (paham yang menyimpang). Dan itulah tempat segala keburukan.

3) al-Lawwaamah (jiwa yang suka mencela)

Adapun kata lawwaamah, ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang akar katanya. Apakah ia dari kata talawwum (berubah-ubah sikap dan bimbang) atau dari kata al-laum (tercela)? Dan ungkapan-ungkapan ulama salaf di antara dua makna tersebut. (Lihat ad-Durrul Mantsur 8/343)

TIGA KUNCI UNTUK MEMILIKI JIWA YANG TENANG

  1. Ikhlas

 Ikhlas itu adalah menerima kehendak Allah SWT  beserta seluruh kebenaran-Nya. Ikhlas itu bisa dibilang susah-susah gampang. Akan tetapi kalau kita terus melatih diri untuk ikhlas maka kita pasti akan terbiasa ikhlas. Dengan menjadi ikhlas artinya kita pasrah, dan menyerahkan diri kita seutuhnya kepada Allah SWT.

Akibat dari kita ikhlas adalah kita menjadi tidak terlalu pusing dengan dunia ini, sebab kita sudah seutuhnya menyerahkan diri pada Allah SWT. Biar Allah SWT  yang membaikkan diri kita, sehingga kita bisa lebih baik dalam bertindak ketika menjalani kehidupan. Ikhlas di sini juga berarti kita hanya berharap pada Allah SWT, jadi kita tidak perlu lagi pusing ngurusin omongan orang yang merendahkan kita, tidak perlu lagi berharap rezeki kepada selain Allah SWT dan sebagainya.

Menjadi ikhlas itu indah sekali, dan kalau kita sudah ikhlas maka mudah-mudahan lebih mudah bagi kita untuk memiliki jiwa yang tenang. 

2. Bersyukur

 Bersyukur adalah salah satu hal terindah dalam hidup ini. Dengan bersyukur kita jadi lebih mudah gembira, sebab kita merasa beruntung sekali dalam hidup ini. Sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur. Oksigen yang kita hirup, makanan yang kita makan, kasih sayang dari orang-orang terdekat, semua indah sekali ketika disyukuri.

3. Memampukan Diri

Kemampuan kita sangatlah mempengaruhi  kehidupan kita. Orang yang umurnya 40 tahun, baru bisa tenang kalau kemampuannya adalah kemampuan orang umur 40  tahun atau lebih. Kualitas kemampuan kita amatlah berkaitan erat dengan kehidupan kita, orang yang berusaha memampukan diri pasti akan lebih mudah memiliki jiwa yang tenang

ADA TIGA TINGKATAN JIWA MENURUT AHLI TASAWUF

  - Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12) ayat 53.

- Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat al-Qayimah (73) ayat 2.

- Tingkat ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Infithar (89) ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan Superego

MENURUT IMAM GHAZALI JIWA TERBAGI 3 GOLONGAN

 1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.

2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).

3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.